Tugas minggu ke - 9
KESEHATAN MENTAL
A.
Model – Model Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal (antarpribadi) adalah hubungan yang
terdiri atas dua orang atau lebih, yang memiliki ketergantungan satu sama lain
dan menggunakan pola interaksi yang konsisten. Ketika akan menjalin hubungan
interpersonal, akan terdapat suatu proses dan
biasanya dimulai dengan interpersonal attraction.
Hubungan interpersonal memiliki empat model yaitu :
1.
Model Pertukaran Sosial (social exchange model)
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu
transaksi dagang. Seseorang yang berhubungan dengan orang lain karena
mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Hubungan tersebut akan
menghasilkan ganjaran (akibat positif), biaya (akibat negatif), hasil atau laba
(ganjaran dikurangi biaya), dan tingkat perbandingan.
2.
Model Peranan
Model yang menganggap hubungan interpersonal sebagai panggung
sandiwara. Setiap orang harus memerankan perannya sesuai naskah yang sudah
dibuat oleh masyarakat. Hubungan interpersonal berjalan dengan baik apabila
setiap individu bertindak sesuai dengan peranannya.
3.
Model inraksional
Hubungan interpersonal sebagai suatu sistem, setiap sistem
memiliki sifat – sifat struktural , integratif, dan medan. Semua sistem derdiri
dari subsistem yang saling bergantung dan bertindak bersama. Semua sistem
mempunyai kecenderungan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan. Jika
ekuilibrium dari sistem terganggu segara mengambil tindakan. Setiap hubungan
interpesonal harus dilihat dari tujuan bersama, metode komunikasi, ekspektasi
dan pelaksanaan peranan.
4.
Model Permainan ( Games People Play Model)
Menggunakan pendekatan analisis transaksional. Hubungan
individu terlibat dengan berbagai macam permainan. Kepribadian dasar dalam
permainan tersebut dibagi tiga bagian yaitu :
·
Kepribadian Orang Tua
Kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang diterima
dari orang tua atau yang dianggap sebagai orang tua.
·
Kepribadian orang dewasa
bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional
·
Kepribadian anak
kepribadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman
kanak-kanak yang mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreativitas dan
kesenangan.
B.
Memulai Hubungan
1)
Pembentukan Kesan
Menurut sears dkk (1992) individu cenderung membentuk kesan
panjang lebar atas orang lain berdasarkan informasi yang terbatas. Evaluasi :
Kesan pertama. Menurut sears dkk (1992) aspek pertama yang paling penting dan
kuat adalah evaluasi. Secara formal dimensi evaluatif merupakan dimensi
terpenting diantara sejumlah dimensi dasar yang mengorganisasikan kesan
gabungan tentang orang lain. Kesan Menyeluruh. Untuk menjelaskan bagaimana
orang mengevaluasi terhadap orang orang lain, dapat dilakukan dari “kesan yang
diterima secara keseluruhan”. Sears dkk. (1992) membagi kesan menyeluruh menjadi
dua, yaitu model penyamarataan dan model menambahkan. Konsistensi. Individu
cenderung membentuk karakteristik yang konsisten secara evaluatif terhadap
individu lainnya, meski hanya memiliki sedikit informasi. Kita cenderung
memandang orang lain secara konsisten dari kedalamannya. Prasangka positif
menurut sears (dalam Sears dkk., 1992) adalah kecenderungan menilai orang lain
secara positif sehingga mengalahkan evaluasi negatif.
2)
Ketertarikan Interpersonal
a)
Penguatan
Kita menyukai orang lain dengan cara member ganjaran sebagai
penguatan dari tindakan atau sikap kita. Salah satu tipe ganjaran yang penting
adalah persetujuan sosial, dan banyak penelitian memperlihatkan bahwa kita
cenderung menyukai orang lain yang cenderung menilai kita secara positif
(Sears, 1992).
b)
Pertukaran sosial
Pandangan ini menyatakan bahwa rasa suka kita kepada orang
lain didasarkan pada penilaian kita terhadap kerugian dan keuntungan yang
diberikan seseorang kepada kita. Teori ini menekankan bahwa kita membuat
penilaian komparatif, menilai keuntungan yang kita peroleh dari seseorang
dibandingkan dengan keuntungan yang kita peroleh dari orang lain (Sears dkk.,
1992).
c)
Asosiasi
Kita menjadi suka kepada orang yang diasosiasikan
(dihubungkan) dengan pengalaman yang baik/bagus dan tidak suka kepada orang
yang diasosiasikan dengan pengalaman buruk/jelek (Clore & Byrne dalam Sears
dkk., 1992)
C.
Hubungan Peran
1.
Model Peran
Terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain
peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai social, yang kedudukannya
sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai
berikut:
Secara implicit bermain peran mendukung sustau situasi
belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada
situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta
didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata.
Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat
menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
Kedua, bermain
peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang
tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan
untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis
bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat
perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan
psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi
setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan
integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan
keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya,
dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual,
sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat
penting dalam pembelajaran.
Model bermain peran
berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian
ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang
tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang
sedang diperankan. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari
pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian,
para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara
memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi
peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional.
Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan
masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai
masalah yang sedang dihadapi
2.
Konflik
Konflik adalah adanya pertentangan yang timbul di dalam
seseorang (masalah intern) maupun dengan orang lain (masalah ekstern) yang ada
di sekitarnya. Konflik dapat berupad perselisihan (disagreement), adanya
keteganyan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain
di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antar
kedua belah pihak, sampai kepada mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu
sama lain sebagai pengahalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan
masing-masing.
Substantive
conflicts merupakan perselisihan yang berkaitan dengan tujuan
kelompok,pengalokasian sumber dalam suatu organisasi, distrubusi kebijaksanaan
serta prosedur serta pembagaian jabatan pekerjaan. Emotional conflicts terjadi
akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak simpatik, takut dan
penolakan, serta adanya pertantangan antar pribadi (personality clashes).
3.
Adequacy Peran dan Autentisitas
Kecukupan perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai
dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal.
Peran didasarkan pada preskripsi ( ketentuan ) dan harapan peran yang
menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi
tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang
lain menyangkut peran-peran tersebut.
D.
Intimasi dan Hubungan Pribadi
Intimasi dapat dilakukan terhadap teman atau kekasih.
Intimasi (elemen emosional : keakraban, keinginan untuk mendekat, memahami
kehangatan, menghargai, kepercayaan). Intimasi mengandung pengertian sebagai
elemen afeksi yang mendorong individu untuk selalu melakukan kedekatan
emosional dengan orang yang dicintainya. Dorongan ini menyebabkan individu
bergaul lebih akrab, hangat, menghargai, menghormati, dan mempercayai pasangan
yang dicintai, dibandingkan dengan orang yang tidak dicintai. Mengapa seseorang
merasa intim dengan orang yang dicintai? Hal ini karena masing-masing individu
merasa saling membutuhkan dan melengkapi antara satu dan yang lain dalam segala
hal. Masing-masing merasa tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dan kehadiran
pasangan hidup sisinya.
E.
Intimasi dan Pertumbuhan
untuk bertumbuh
dalam keintiman, yang terutama adalah cinta. Keintiman tidak akan bertumbuh
jika tidak ada cinta . Keintiman berarti proses menyatakan siapa kita
sesungguhnya kepada orang lain. Keintiman adalah kebebasan menjadi diri
sendiri. Keintiman berarti proses membuka topeng kita kepada pasangan kita.
Bagaikan menguliti lapisan demi lapisan bawang, kita pun menunjukkan lapisan
demi lapisan kehidupan kita secara utuh kepada pasangan kita.
Keinginan setiap pasangan adalah menjadi intim. Kita ingin
diterima, dihargai, dihormati, dianggap berharga oleh pasangan kita. Kita
menginginkan hubungan kita menjadi tempat ternyaman bagi kita ketika kita
berbeban. Tempat dimana belas kasihan dan dukungan ada didalamnya. Namun,
respon alami kita adalah penolakan untuk bisa terbuka terhadap pasangan kita.
Hal ini dapat disebabkan karena (1) kita tidak mengenal dan tidak menerima
siapa diri kita secara utuh; (2) kita tidak menyadari bahwa hubungan pacaran
adalah persiapan memasuki pernikahan; (3) kita tidak percaya pasangan kita sebagai
orang yang dapat dipercaya untuk memegang rahasia; (4) kita dibentuk menjadi
orang yang berkepribadian tertutup; (5) kita memulai pacaran bukan dengan cinta
yang tulus . Dalam hal inilah keutamaan cinta dibutuhkan.
Referensi
Jalaluddin Rakhmat (1998): Psikologi Komunikasi, Edisi 12,
PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar